Semalam aku menyaksikan perdebatan sengit antara beberapa orangtua di kampung ku ini masalah kepemilikan tanah. Perdebatan mereka tersebut kalau istilah dalam bahasa Sunda disebut “Argumentum Ad Hominem”, artinya membantah argumen dengan menyerang sisi personal lawan debatnya, bukan menyerang argumennya atau membeberkan bukti-bukti kalau dia pemilik/pewaris yang sah atas tanah tersebut.
Contohnya argumen Ad Hominemnya terucapkan :
(1) "Dang diboto ho sejarah ni tano on, ala paniaran (istri) do ho di huta on!" , cacat logikanya: kalau sebagai posisi istri/paniaran/perempuan pendapatnya/kesaksian mengenai masalah tanah tersebut itu pasti salah karena dia orang luar yang datang dan pendapat pihak laki-laki (yg punya marga) pasti benar.
(2) "Umurhu nungga 70 tahun, au do umbotosa tarsingot tano on", cacat logikanya: Pendapat orang yang lebih tua pasti benar dan sedangkan pendapat orang yang lebih muda pasti salah.
(3) Argumen menyerang sisi masa lalu lawan debatnya, cacat logikanya: misalnya kalau masa lalu lawan debatnya itu pernah ketahuan selingkuh, maka pendapatnya tentang tanah tersebut pasti salah karena pernah selingkuh :) kan gak ada hubungannya :)
Kalau sudah berargumen Ad Hominem, mending disudahi saja, karena akan buang2 waktu. Dalam perdebatan itu tidak terjadi dialog namun monolog, sidok hata na be atau bilanglah bilangmu biar kubilang bilangku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar